Selasa, Oktober 7, 2025
Suarajurnalis.id, Ketapang – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang pemerintah sebagai solusi pemenuhan gizi anak sekolah justru kembali diterpa masalah serius. Setelah menu makanan dipersoalkan karena tidak sesuai kebutuhan gizi dan distribusi yang tidak merata, kini giliran wadah makan atau ompreng asal Tiongkok menuai polemik.
Sejumlah media nasional melaporkan temuan awal hasil uji laboratorium di luar negeri yang menyebut bahwa ompreng MBG menggunakan minyak babi dalam proses produksinya. Temuan ini kontan memicu keresahan di masyarakat, termasuk di Kabupaten Ketapang yang menjadi salah satu daerah penerima program tersebut.
CNN Indonesia menurunkan laporan berjudul “NU DKI: 2 Uji Lab di China Terbukti Food Tray MBG Mengandung Babi”. Dalam berita itu disebutkan bahwa hasil uji yang dilakukan Nahdlatul Ulama DKI Jakarta mendeteksi adanya unsur minyak babi dalam proses pencetakan wadah makan MBG.
Sementara Tempo menulis laporan dengan tajuk “Bukti Minyak Babi dalam Ompreng Makan Bergizi Gratis”. Tempo menyebut refined lard atau lemak babi olahan dipakai sebagai pelumas dalam proses pencetakan ompreng berbahan stainless steel di pabrik asal Tiongkok.
Kabar ini sontak membuat orang tua murid di Ketapang resah. Banyak dari mereka memilih berhati-hati dengan tidak mengizinkan anaknya menggunakan ompreng MBG hingga ada kepastian resmi pemerintah.
“Daripada was-was, lebih baik jangan dulu dipakai. Kami tunggu kepastian dari pemerintah, karena ini menyangkut halal dan haram,” kata Sari (31), warga Delta Pawan.
Hal senada diungkapkan Udin (42), orang tua murid lainnya. “Kalau memang benar ada unsur tidak halal, tentu kami keberatan. Apalagi ini dipakai anak-anak setiap hari di sekolah. Pemerintah jangan lambat menjelaskan, karena keresahan semakin besar,” ujarnya.
Masalah MBG di Berbagai Daerah
Isu ompreng impor ini hanyalah salah satu dari sekian banyak persoalan yang membelit program MBG di berbagai daerah.
Di beberapa kabupaten lain, muncul keluhan terkait menu makanan yang tidak bervariasi dan sering tidak sesuai standar gizi. Ada pula laporan soal distribusi yang tidak merata, dapur produksi yang tidak memenuhi standar kebersihan, hingga dugaan mark up biaya pengadaan.
Bahkan di sejumlah sekolah, program ini dianggap menambah beban guru dan kepala sekolah karena harus ikut mengawasi distribusi makanan setiap hari, padahal tugas utama mereka adalah mengajar.
Program Dinilai Perlu Dievaluasi
Deretan persoalan ini menambah panjang daftar catatan kritis terhadap MBG. Tak sedikit pihak yang menilai program ini perlu dievaluasi total. Selain rawan masalah, MBG dinilai menguras anggaran negara dalam jumlah besar tanpa memberikan manfaat signifikan terhadap kualitas pendidikan maupun peningkatan gizi anak-anak.
“Kalau pelaksanaan di lapangan hanya menimbulkan masalah baru, lebih baik anggarannya dialihkan untuk memperbaiki kualitas sekolah, gaji guru, atau beasiswa anak miskin. Itu jauh lebih terasa manfaatnya,” ujar salah satu tokoh masyarakat di Ketapang.
Kini, masyarakat Ketapang dan daerah lain menanti sikap tegas pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kepastian soal kehalalan ompreng impor hanyalah satu aspek, namun yang lebih mendesak adalah evaluasi menyeluruh terhadap MBG agar tidak sekadar menjadi proyek pencitraan yang menghabiskan anggaran triliunan rupiah tanpa hasil nyata. (AS)