Senin, Oktober 6, 2025
Suarajurnalis.id, Ketapang – Warga Desa Tanjung Pasar dan Mayak, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, menilai PT Sinar Karya Mandiri (SKM) belum sepenuhnya memenuhi kewajiban penyediaan plasma 20% dari total lahan sawit yang dikelola sejak 2012. Berdasarkan catatan masyarakat, perusahaan telah menanam sekitar 4.000 hektare sawit, namun hasil yang diterima warga melalui Koperasi Tanjung Pawan Mandiri masih sangat minim.
Sejumlah warga mengungkapkan, dari kebun plasma yang dikelola, masyarakat hanya memperoleh Rp200 ribu hingga Rp300 ribu per bulan yang dicairkan per semester. Jumlah tersebut dianggap jauh dari harapan, bahkan tidak sebanding dengan potensi ekonomi kebun sawit yang sudah produktif. Ironisnya, menurut warga, dana yang diterima bukan murni hasil kebun plasma, melainkan hanya berupa talangan perusahaan untuk meredam gejolak sosial.
“Seharusnya dengan 4.000 hektare sawit yang sudah lama ditanam, hasil plasma bisa lebih besar. Tapi kenyataannya, yang kami terima sangat kecil, bahkan tidak jelas apakah itu benar hasil plasma atau sekadar kompensasi,” ungkap seorang warga.
Tuntutan Warga dan Dasar Hukum Plasma
Kewajiban perusahaan perkebunan menyediakan plasma 20% sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, yang mewajibkan setiap perusahaan perkebunan dengan HGU untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar minimal 20% dari luas areal yang diusahakan. Aturan ini diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 58, yang menegaskan bahwa perusahaan perkebunan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagai bentuk kemitraan.
Bahkan, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 yang juga menegaskan pola kemitraan perusahaan dengan masyarakat sekitar areal perkebunan. Dengan dasar hukum ini, masyarakat menilai kewajiban plasma bukan sekadar janji, melainkan hak yang harus mereka terima secara layak dan transparan.
Selain soal plasma, warga juga mengeluhkan aktivitas kendaraan angkutan Tandan Buah Segar (TBS) milik perusahaan yang kerap melintasi jalan Pemda. Saat jalan dalam kondisi perbaikan, kendaraan tetap beroperasi tanpa memedulikan pembangunan sehingga mempercepat kerusakan. “Masalah plasma saja belum selesai, ditambah kerusakan jalan akibat angkutan perusahaan. Ini semakin menambah masalah yang ditinggalkan perusahaan,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Menanggapi kritik tersebut, PT SKM melalui Kunardi sebagai Direktur memastikan bahwa plasma 20% sudah tersedia sesuai sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas nama koperasi, dengan sistem bagi hasil yang mulai berjalan sejak 2021.
“Memang dirasakan hasilnya belum maksimal karena kondisi lahan sebagian berada di dataran rendah dan sering terendam banjir, meskipun upaya perbaikan dengan tanggul keliling sudah dilakukan sebagai program prioritas dalam beberapa tahun terakhir,” jelas perwakilan perusahaan.
Terkait kerusakan jalan, pihak perusahaan menyebut kondisi memburuk ketika musim hujan dan banjir. Namun, jika cuaca mendukung, PT SKM mengklaim selalu melakukan perbaikan jalan secara berkala. (AS)