Selasa, Oktober 7, 2025
Ketapang, Suarajurnalis.com – Rencana pembangunan waduk penampung limbah PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) di Dusun Sei Tengar, Desa Mekar Utama, Kecamatan Kendawangan, Ketapang, kembali menuai sorotan. Proyek yang digarap PT China Construction Engineering Corporation (CCEC) bersama PT Pilihan Pertama Asia (PPA) itu diwarnai perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pihak perusahaan rekrutmen.
Perwakilan pekerja, Jery Pernando, mengungkapkan sebanyak enam pekerja diberhentikan sepihak oleh PT PPA pada 13 Agustus 2025, meski masih terikat kontrak kerja waktu tertentu (PKWT).
“Kami ada enam orang yang di-off-kan secara sepihak. Padahal sesuai kontrak yang ditandatangani 11 Mei 2025, masa kerja baru berakhir 11 Januari 2026,” jelas Jery.
Pekerja yang diberhentikan, terdiri dari operator alat berat hingga sopir dump truck, menuntut pembayaran sisa kontrak kerja dan hak upah sejak mereka diberhentikan. Tuntutan itu merujuk pada Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi penuh jika memutus PKWT sebelum masa berakhir.
Mediasi Buntu, Pekerja Minta Perlindungan
Beberapa kali pertemuan dengan perwakilan perusahaan, baik di tingkat site Kalbar maupun HRD pusat, tidak menghasilkan kesepakatan. Pekerja kemudian meminta mediasi melalui Pemerintah Desa Mekar Utama pada 25 Agustus 2025.
Namun, tanggapan perusahaan justru menekankan opsi pemindahan kerja ke lokasi lain, perubahan posisi menjadi helper lapangan, atau memfasilitasi pencarian kerja baru, tanpa mengabulkan tuntutan pembayaran penuh sisa kontrak.
Masalah BPJS, Pajak, dan Jam Kerja Ikut Terungkap
Selain persoalan PHK sepihak, pekerja juga menyoroti pelanggaran hak normatif. Jery menyebut potongan BPJS Kesehatan muncul di slip gaji, namun tidak disetorkan. Bahkan pekerja tidak pernah menerima kartu BPJS Ketenagakerjaan.
“Pajak penghasilan pun dipotong, baik yang punya NPWP maupun tidak. Tapi setelah dicek ke Kantor Pajak Pratama Ketapang, ternyata tidak ada penyetoran,” bebernya.
Selain itu, pekerja shift malam diwajibkan bekerja 9 jam tanpa dihitung lembur. Mereka juga tidak mendapat jatah makan bergizi sebagaimana diatur PP No. 36/2021 tentang Pengupahan.
Pihak HRD PT PPA, Leonard, membantah tuduhan tersebut dan menegaskan potongan pajak telah disetor sesuai aturan. Ia juga menegaskan urusan BPJS dikelola pusat dan hanya dipakai ketika terjadi kecelakaan kerja atau kematian.
Pandangan Hukum: Bisa Masuk Kategori Pengalihan Menyimpang
Praktisi hukum, Zaka Irawan SH MH, menilai kasus ini bisa masuk kategori disguised subcontracting jika pemilik pekerjaan memberi instruksi langsung kepada pekerja kontraktor.
“Dalam hukum ketenagakerjaan, pekerja kontraktor tetap terikat pada perusahaan alih daya, bukan pemilik proyek. Jika mekanisme alih daya disalahgunakan, maka bisa dianggap pengalihan menyimpang dan berpotensi ilegal,” tegasnya.
Hingga kini pekerja tetap menuntut hak mereka, terutama pembayaran sisa kontrak, kejelasan status BPJS, serta perhitungan lembur. Sementara perusahaan masih mempertahankan opsi pemindahan kerja dan penyediaan posisi baru.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan ketenagakerjaan di sektor proyek strategis di Ketapang, yang kerap kali menempatkan pekerja pada posisi lemah ketika berhadapan dengan perusahaan besar maupun kontraktor asing. (AS)